Nasional

Bank Dunia Ingatkan Kenaikan Risiko Utang Indonesia di Tengah Tekanan Global

Wednesday, 25 June 2025 08:48 WIB
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. (Foto: Instagram @prabowo)

Radarsuara.com - Bank Dunia menyoroti posisi utang pemerintah Indonesia di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global. 

Lembaga keuangan internasional itu mengingatkan bahwa tekanan ekonomi dunia dapat memaksa pemerintah menaikkan imbal hasil obligasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan beban utang negara.

“Imbal hasil obligasi cenderung meningkat. Faktanya, spread obligasi juga cenderung meningkat, terutama ketika suku bunga secara umum tetap cukup tinggi secara global, dan ini meningkatkan biaya pinjaman ketika ketidakpastian meningkat,” ungkap Lead Economist Bank Dunia dalam Launching Laporan Indonesia Economic Prospects Edisi Juni 2025.

Habib menjelaskan bahwa meskipun rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini masih di bawah 40%, namun beban bunga utang belum masuk dalam kategori aman. 

Menurutnya, peningkatan pendapatan negara sangat diperlukan guna menjaga kemampuan pembayaran utang.

“Rasio bunga utang terhadap pendapatan di Indonesia sekitar 20% dibandingkan dengan rata-rata negara berpenghasilan menengah ke atas sekitar 8,5%,” terang dia.

Ia juga menyoroti belum optimalnya kondisi penerimaan negara saat ini. Ia menegaskan bahwa pembayaran utang dilakukan dari pendapatan negara, sehingga ketika penerimaan negara terbatas, kemampuan membayar pajak juga terdampak.

“Hal ini terkait dengan pasar keuangan yang dangkal. Jadi, jika perusahaan tidak memanfaatkan sistem keuangan untuk transaksi, investasi, atau operasi, hal itu akan memudahkan perusahaan untuk menghindari atau bahkan mengelak pajak,” tutur dia.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa realisasi pembiayaan utang mencapai Rp349,3 triliun per 31 Mei 2025. Angka ini melonjak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya: Rp132,16 triliun (2024), Rp150,39 triliun (2023), dan Rp90,97 triliun (2022), serta hampir menyamai pembiayaan saat pandemi COVID-19 pada 2020 yang sebesar Rp360,66 triliun.

Secara persentase, capaian ini setara dengan 45,02% dari target pembiayaan utang tahun 2025 sebesar Rp775,87 triliun. Angka tersebut menjadi yang tertinggi dibanding periode yang sama dalam lima tahun terakhir, yaitu 20,4% (2024), 21,6% (2023), 9,3% (2022), 28% (2021), dan 35,8% (2020).

Sementara itu, realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp683,3 triliun per 31 Mei 2025, baru mencapai 31,2% dari target dalam APBN 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun. Jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, penerimaan mengalami kontraksi 10,14%. Kondisi ini melanjutkan tren kontraksi tahunan pada April 2025 yang tercatat sebesar 10,8%.

Sejalan dengan Bank Dunia, Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai ada sinyal kewaspadaan terhadap pembayaran utang, terutama dari sisi penerimaan negara yang rendah dalam beberapa tahun terakhir.

“Artinya pemerintah harus lebih waspada karena kebutuhan untuk membayar utang yang mengalami peningkatan, sementara perkembangan kemampuan untuk melunasi utang tidak secepat dari kebutuhan dalam penarikan utang,” tegas Yusuf.

Ia menekankan bahwa langkah penarikan utang baru perlu diiringi dengan eksekusi belanja negara yang tepat. 

Menurutnya, dampak belanja pemerintah terhadap ekonomi harus lebih besar dibandingkan beban dari utang yang ditarik.

“Harapannya ketika diukur melalui rasio utang terhadap PDB, kita bisa punya peluang untuk menahan agar rasio itu tidak mengalami peningkatan. Atau lebih baik lagi jika ekonomi bisa tumbuh dari eksekusi belanja pemerintah lebih tinggi, maka kita juga bisa membuka peluang untuk menurunkan rasio utang tersebut,” tutur Yusuf.

Editor: Mahipal

Komentar

You must login to comment...