Nasional

Transisi Energi Dinilai Lambat, Pakar Minta Pemerintah Fokus pada Kemandirian Ekonomi

Saturday, 05 July 2025 11:53 WIB
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. (Radarsuara.com)

Radarsuara.com - Para pakar menyoroti sejumlah tantangan mendasar dalam proses transisi energi di Indonesia, mulai dari lemahnya arah kebijakan hingga ketimpangan akses energi di daerah.

Dalam diskusi publik bertema “Mengelola Transisi Energi: Mengapa Indonesia Selalu Tertinggal?”, para ahli menggarisbawahi bahwa hambatan terbesar bukan hanya soal teknologi, melainkan soal narasi, tata kelola, dan keadilan energi.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengkritisi pendekatan yang terlalu fokus pada isu lingkungan dalam kampanye energi terbarukan.

Menurutnya, masyarakat belum cukup sadar akan pentingnya isu lingkungan, sehingga pendekatan tersebut kurang efektif.

“Jika narasinya diubah menjadi pertumbuhan ekonomi dan kemandirian bangsa, hasilnya akan lebih besar,” ujarnya, Sabtu, 5 Juli 2025.

Ia juga menilai target-target global seperti COP21 dan JETP cenderung ambisius, sementara posisi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam dokumen strategis nasional seperti RPJMN dan RPJPN masih lemah.

Ketiadaan peta jalan yang realistis menjadi penyebab utama ketertinggalan. Dalam pandangannya, transisi energi membutuhkan pendekatan pragmatis, bukan sekadar simbolik.

Senada dengan itu, Direktur JJB Sustainergy, Paul Patar Butarbutar, menekankan pentingnya dukungan kebijakan dan pendanaan yang memadai.

Ia menilai implementasi Just Energy Transition Partnership (JETP) sulit diwujudkan jika hanya bergantung pada dana terbatas.

“Kita hanya bisa bergerak sesuai dengan dana yang tersedia, yaitu sekitar 2,56 miliar dolar AS. Jumlah ini sangat terbatas jika melihat biaya pembangunan PLTU dan pembangkit EBT, termasuk jaringan transmisinya,” jelasnya.

Paul juga menyerukan kejelasan regulasi, insentif fiskal yang setara untuk EBT, serta kehadiran skema PPA yang bankable agar transisi energi tidak terhenti di tengah jalan.

Di sisi lain, Bhima Yudhistira dari CELIOS menyoroti pentingnya keadilan dalam kebijakan energi.

Menurutnya, masih banyak daerah yang mengalami kemiskinan energi meskipun angka elektrifikasi nasional cukup tinggi.

“Energi seharusnya dipandang sebagai hak dasar, bukan sekadar produk teknis yang dikuasai oleh segelintir akademisi atau konsultan mahal,” tegas Bhima.

Ia juga mengkritik monopoli PLN dan kebijakan energi nasional yang tidak konsisten, termasuk ironi ekspor-impor batubara dan nikel yang justru melemahkan upaya kemandirian energi nasional.

Bhima mendorong desentralisasi kebijakan dan pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan perencanaan energi.

Sementara itu, Dirjen EBTKE, Prof. Dr. Eng. Eniya Listiani Dewi, menekankan bahwa transisi energi tidak hanya soal bauran energi, tetapi juga menyangkut ketahanan nasional.

Ia menyebutkan bahwa RUPTL dan RUKN kini mulai memasukkan hidrogen dan amoniak ke dalam peta bauran energi nasional sebagai langkah awal transformasi.

“Untuk pertama kalinya, RUPTL dan RUKN memasukkan hidrogen dan amoniak dalam bauran energi nasional,” ungkapnya.

Namun ia mengakui, tantangan terbesar tetap pada rendahnya konsumsi listrik per kapita dan ketimpangan pasokan antarwilayah.

Beberapa daerah seperti Sulawesi dan sebagian Jawa saat ini sudah memasuki status “lampu kuning”, yang menandakan risiko ketidakstabilan pasokan energi.

Hal ini menegaskan perlunya intervensi serius dari negara dalam distribusi dan infrastruktur energi.

Para pakar sepakat bahwa transisi energi harus dikelola dengan pendekatan yang menyeluruh dan berbasis pada realitas sosial, ekonomi, serta tata kelola yang inklusif.

Tanpa perbaikan mendasar pada arah kebijakan, partisipasi publik, dan pendanaan, cita-cita menuju energi bersih dan mandiri dikhawatirkan hanya akan menjadi slogan kosong tanpa perubahan nyata.

Editor: Mahipal

Komentar

You must login to comment...